Oleh : Julizar Firmansyah, S.Sos., M.Hum *
Perdebatan tentang Islam liberal tidak hanya memanas di Tanah Air.
Di bagian Dunia Islam lainnya juga terjadi diskursus intelektual yang ditandai dengan wacana kontra-wacana, da nada pula yang diperkeruh dengan emosi lawan wacana dari kedua belah pihak, yaitu antara aliran tekstual atau konservatif dengan aliran liberal.
Di Indonesia, diskursus Islam liberal sudah hangat sejak 1970-an ketika Nurcholish Madjid menyampaikan makalahnya tentang penyegaran pemahaman keagamaan. Di era pasca-reformasi, sejak tahun 2002, Jaringan Islam Liberal (JIL) didirikan dengan motornya Ulil Abshar Abdalla. Rangkaian debat panjang memanas bukan saja di ruang seminar tapi juga di media online lewat mailing list JIL.
Adakah titik temu dua pandangan itu? Sebab kontestasi dua aliran tersebut dapat menjadi suatu yang kontraproduktif dan buruk akibatnya bagi persatuan umat Islam. Terutama dengan mengingat bahwa teori konspirasi masih ada kemungkinan keberadaannya. Bukan rahasia lagi, Dunia Barat dan penganut agama-agama lain, terutama Yahudi dan Nasrani, masih mengidap ketakutan terhadap Islam (islamofobi). Tak urung sebagian orientalis terkemuka juga mengakuinya.
Syekh Qardhawi menawarkan solusinya lewat apa yang dinamakannya Fikih Maqashid Syariah, yakni fikih terhadap maksud-maksud syariah. Kepercayaan terhadap maksud-maksud syariah tersebut yang Qardhawi lakukan ketika berpikir, berijtihad, dan menguatkan pendapat. Manhaj-nya itu kemudian berbenturan dengan manhaj orang-orang literal (tekstual –pen.) yang tidak melihat kepada makna, substansi, dan hakikat, melainkan lebih kepada bentuk. Syekh menamai aliran itu dengan sebutan “zahiriah baru”. Mereka sepakat dalam kejumudan dan keliteralan, serta mengingkari hikmah, maksud, dan qiyas yang benar. Meskipun mereka tidak sama dengan pemahaman zahiriah. Terutama dalam pengetahuan teks, hadits, dan atsar. Selengkapnya…